Renungan Pagi “Kabar Baik Dari Patmos” 31 Januari 2013
"Tuliskanlah kepada malaikat jemaat di..." (Wahyu 2:1, 8, 12, 18; 3:1, 7, 14).
Ketika saya remaja, televisi menayangkan sebuah acara sangat populer berjudul Star Trek. Film itu mengisahkan tentang pesawat ruang angkasa Enterprise, sebuah pesawat perang luar angkasa yang menjelajahi galaksi untuk membela United Federation of Planets melawan Klingon dan spesies-spesies jahat lainnya. Kapten kapal itu seorang manusia biasa bernama Kirk yang mengekspresikan berbagai tipikal emosi, mulai dari euforia saat menang perang hingga kepanikan saat keadaan terjadi tidak semestinya. Bawahannya adalah Mr. Spock, seorang humanoid dengan telinga berujung tajam yang berasal dari planet Vulcan dan sama sekali tidak memiliki emosi.
Bagian-bagian dalam hampir semua film memperlihatkan Kapten Kirk kehilangan ketenangannya saat menghadapi krisis dan Mr. Spock menyela dengan nada suara tanpa emosi, "Kapten, ini sangat tidak logis." Begini, tidak seperti makhluk dari "Vulcan," manusia memiliki dua cara utama untuk mengakses situasi apa pun, yang satu adalah nalar dan logika, dan yang lainnya perasaan. Emosi tentu saja bisa menjadi alat protektif bagi manusia, tetapi juga bisa membuat orang-orang melakukan tindakan-tindakan bodoh tidak produktif, sebagaimana sering diilustrasikan oleh film tersebut.
Kita bisa mengilustrasikan logika Barat dengan persamaan ini: A+B=C. Segala sesuatu mengarah pada kesimpulan. Namun logika Ibrani dalam Alkitab berbeda: A+B=A! Logika Ibrani berbalik kepada dirinya sendiri. Seperti not-not dalam piano. Saat Anda mendaki tangga nada (do, re, mi, dan sebagainya), Anda selalu kembali pada not-not yang sama, namun pada tingkatan yang lebih tinggi dibanding sebelumnya. Logika Barat menekankan pada kesimpulan, logika Ibrani menekankan pada pusat.
Ketujuh jemaat agaknya memiliki struktur logika Ibrani: A-B-A. Yesus sama sekali tidak mengritik Smirna dan Feladelfia (jemaat kedua dan keenam); Pergamus dan Sardis (ketiga dan kelima) tampaknya mengalami kemunduran serius; Efesus dan Laodikia (yang pertama dan terakhir) mengalami permasalahan serupa. Gereja di tengah-tengah, yaitu Tiatira, tampaknya mengalami dua fase, dan pesan terpanjang yang ditujukan kepadanya.
Strukturnya jadi seperti kaki dian bercabang tujuh dengan tiga cabang pada masing-masing sisinya, satu di tengah, dan sepasang cabang bertemu pada titik yang sama di pangkal kaki dian: Efesus dan Laodikia berada di ujung yang berlawanan dari kaki dian; Smirna dan Filadelfia di tingkatan selanjutnya; Pergamus dan Sardis di atasnya, serta Tiatira pada puncaknya.
Allah tidak menerapkan logika Barat pada jemaat-jemaat di Asia Kecil. Dia sangat peduli kepada mereka sehingga Dia menerima mereka apa adanya.
Tuhan, aku sangat bersyukur karena tahu bahwa Engkau menjangkau aku pada tahap pemahamanku.
Posting Komentar