PELAJARAN KE-IX; 2 Maret 2013
"PERNIKAHAN: SEBUAH KARUNIA DARI EDEN"
Sabat Petang, 23 Februari
PENDAHULUAN
Suvenir dari Taman Eden. Dosa
mengakibatkan Adam dan Hawa terusir dari Taman Eden, rumah alamiah yang
penuh dengan kenikmatan. Namun pasangan suami-istri itu tidak keluar
dengan tangan hampa. Selain pakaian rancangan dan buatan tangan Allah
sendiri sebagai oleh-oleh berupa benda, nenek moyang pertama manusia itu
juga membawa suvenir non-materi dari Sang Pencipta, yakni perkawinan.
Dalam kasus Adam dan Hawa, perkawinan itu bertahan hingga ratusan tahun,
langgeng selama hayat dikandung badan. Sama seperti baju kulit yang
mereka kenakan dari Taman Eden itu, awet sampai akhir hayat.
Tentu
saja lembaga perkawinan bukan hanya untuk pengantin dari Eden itu,
tetapi buat seluruh keturunan mereka. Perkawinan adalah kebahagiaan yang
diciptakan Allah untuk manusia bisa nikmati dengan seutuhnya, sebuah
kenikmatan yang dapat dialami secara biologis dan psikologis. Namun,
sejarah membuktikan bahwa seiring dengan berjalannya waktu kebahagiaan
dari lembaga perkawinan ini pun telah mengalami kemerosotan karena
digerogoti oleh dosa dan penyelewengan.
"Sayangnya, bagi
begitu banyak orang pernikahan telah menjadi suatu pengalaman yang
paling sering penuh rasa sakit dan kemarahan gantinya sukacita dan
kedamaian. Bukan ini maksud atau tujuan pernikahan. Keadaan menyedihkan
dari begitu banyak pernihakan adalah suatu ekspresi yang kuat dari
kemerosotan yang telah diakibatkan oleh dosa terhadap umat manusia"
[alinea pertama: tiga kalimat terakhir].
Setelah Allah menciptakan manusia yang terdiri atas seorang laki-laki dan seorang perempuan, Ia lalu memberkati kedua pengantin itu sambil memerintahkan mereka untuk beranak-cucuk dan bertambah banyak (Kej.
1:28). Sesungguhnya, perkawinan adalah sebuah lembaga yang ditentukan
Allah untuk menjadi sarana pertumbuhan populasi manusia di bumi ini.
Ciptaan-ciptaan lainnya, fauna maupun flora, juga dikodratkan untuk
berkembang biak dan bertambah banyak, tetapi tidak seperti manusia yang
harus melalui lembaga pernikahan. Perkawinan di kalangan hewan dan
tumbuhan hanya sebuah tuntutan alam yang bersifat fisik supaya terjadi
pembuahan, sedangkan bagi manusia perkawinan adalah juga untuk memenuhi
maksud ilahi.
Minggu, 24 Februari
ADA YANG KURANG (Lo Tov, Tidak Baik)
Kesendirian Adam. Hingga
pada hari keenam minggu penciptaan (tepatnya, sampai Adam diciptakan),
Allah melihat semuanya "sungguh amat baik." Tetapi ternyata ada hal yang
kurang--Adam masih sendirian! "Tidak baik, kalau manusia itu
seorang diri saja," Allah berfirman. "Aku akan menjadikan penolong
baginya, yang sepadan dengan dia" (Kej. 2:18; huruf miring ditambahkan).
Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan tidak baik dalam ayat ini adalah ืֹื־ ื֛ืֹื, lล-แนญลwแธ (dilafalkan: lo tov). Ini merupakan bentuk negatif dari kata ื֛ืֹื, baik, yang terdapat pada ayat-ayat sebelumnya.
Tentu
saja kita tidak akan berspekulasi mengapa Allah yang lebih dulu sudah
menciptakan hewan secara berpasang-pasangan, jantan dan betina, tetapi
menciptakan Adam seorang diri. Apalagi, manusia ditakdirkan untuk
menjadi makhluk sosial. Mungkin saja Allah hendak membiarkan agar dalam
diri Adam muncul "rasa membutuhkan" akan seorang teman atau pendamping,
supaya bilamana teman yang akan mendampinginya itu kelak hadir maka Adam
akan menyambutnya penuh rasa syukur dan selalu menghargainya. Tetapi,
apapun itu, Alkitab mencatat bahwa Allah sendiri yang menyatakan
penilaian-Nya. Inilah untuk pertama kalinya pernyataan negatif perihal
penciptaan disebutkan, bahkan dari mulut Sang Pencipta itu sendiri.
"Allah
telah menyatakan semua aspek Penciptaan itu 'baik' sampai pada waktu Ia
menciptakan Adam. Pada saat itu, Adam adalah satu-satunya
manusia...Jadi, Adam membutuhkan seseorang seperti dirinya dengan siapa
dia bisa menjalin suatu hubungan yang saling mencintai dan bekerjasama,
memantulkan hubungan kasih yang dicontohkan dalam Keilahian" [alinea
kedua: dua kalimat pertama dan kalimat terakhir].
Kebutuhan dipenuhi. Pawai
binatang-binatang yang berjalan berpasangan di hadapan Adam tampaknya
telah menimbulkan suatu rasa kebutuhan dalam dirinya--kebutuhan akan
seorang pendamping. Kita tidak tahu apakah Adam sadar bahwa
binatang-binatang yang berlalu di hadapannya itu memiliki dua jenis
kelamin berbeda, jantan dan betina, dan kita juga tidak tahu apakah dia mengerti makna
perbedaan fisiologis itu. Tetapi Allah tentu saja tahu, dan Ia juga
tahu rasa kebutuhan dalam diri Adam yang tidak tercetuskan itu. Maka,
untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Allah melaksanakan rencana-Nya. Jadi,
perempuan bukanlah makhluk yang muncul secara dadakan berdasarkan ide
yang tiba-tiba, tetapi ciptaan yang dihadirkan belakangan setelah
laki-laki menyadari kebutuhannya. Hawa adalah element of surprise (unsur kejutan) dalam skenario penciptaan Allah!
"Kita
bisa pastikan bahwa Tuhan juga bermaksud agar Adam memiliki seorang
istri. Mungkin Tuhan berniat menimbulkan suatu kerinduan dalam diri
Adam, perasaan bahwa ada sesuatu yang hilang dari keberadaannya sendiri,
yang akan membuatnya semakin menghargai karunia yang Tuhan hendak
berikan kepadanya dalam rupa seorang istri" [alinea ketiga: dua kalimat
terakhir].
Pena inspirasi menulis: "Allah menjadikan
perempuan dari laki-laki, untuk menjadi seorang teman dan penolong bagi
dia, untuk memberi semangat, mendorong, dan menjadi berkat baginya.
Sebaliknya, lelaki itu harus menjadi penolong yang tangguh bagi wanita
itu. Semua yang memasuki kehidupan pernikahan dengan maksud yang
suci--suami untuk memperoleh kasih sayang yang murni dari hati seorang
wanita, istri untuk melunakkan dan meningkatkan tabiat seorang suami,
dan membawa kesempurnaan pada pernikahan itu--memenuhi maksud Allah bagi
mereka" (Ellen G. White, Signs of the Times, 6 September 1899).
Apa yang kita pelajari tentang hal yang "tidak baik" dalam penciptaan?
1.
Kesendirian adalah sesuatu yang "tidak baik" bagi manusia. Dalam kasus
Adam, kesendiriannya tentu saja menghalangi maksud Allah bagi manusia
untuk bertambah banyak dan memenuhi bumi ini. Jadi, tidak mungkin Allah
sengaja hanya menciptakan Adam seorang diri.
2. Lembaga
pernikahan (suami-istri) adalah sarana melalui mana Allah ingin manusia
itu beranak-cucu dan melahirkan keturunan. Jadi, anak dan cucu maupun
generasi-generasi berikutnya bukanlah sekadar produk genetik dari
orangtua mereka, melainkan hasil dari berkat Allah melalui rumahtangga.
3.
Maksud dari lembaga pernikahan itu ialah agar seorang laki-laki dan
seorang perempuan dapat menjalin suatu hubungan yang berlandaskan kasih
sayang yang suci dan rasa saling membutuhkan, menyadari bahwa adalah
Allah sendiri yang merencanakan hubungan itu.
Senin, 25 Februari
TEMAN YANG SEPADAN (Seorang Pendamping Bagi Adam)
Allah memahami kebutuhan manusia. Meski
tidak disebutkan tetapi kita dapat yakin bahwa di antara hewan-hewan
yang berbaris di depan Adam untuk diberi nama pada hari itu terdiri atas
semua spesis yang pernah hidup di bumi ini. "Manusia itu memberi nama
kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala
binatang hutan..." (Kej. 2:20). Segala ternak dan segala binatang
berarti semua satwa dan burung yang Allah ciptakan. Kecuali, barangkali,
satwa yang hidup di air tidak diberi nama oleh Adam sebab tidak
disebutkan di sini bahwa mereka juga ikut berpawai. Tidak jelas pula
apakah prosesi pemberian nama itu dimengerti oleh hewan-hewan itu, tapi
yang pasti ini merupakan peragaan kekuasaan manusia atas binatang. Hewan
adalah makhluk yang lebih rendah dari manusia dan tidak ada di antara
mereka yang bisa menyaingi kecerdasan manusia, sekalipun itu simpanse
yang digembar-gemborkan sebagai primata yang paling cerdas.
Segera
setelah tugas memberi nama semua satwa itu selesai, Allah menidurkan
Adam sebelum melakukan tindakan pembedahan. Ini adalah operasi pertama
dalam riwayat dunia ini, untuk menyembuhkan "penyakit kesepian" yang
dirasakan Adam. Perhatikan, meski Adam tidak mengeluh perihal
kesendiriannya tapi Allah mengetahui hal itu. Allah berfirman "Tidak
baik kalau manusia itu seorang diri saja" (Kej. 2:18), lalu Allah
bertindak "membuat manusia itu tidur nyenyak...mengambil salah satu
rusuk dari padanya, lalu...dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari
manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada
manusia itu." (ay. 21-22).
Sementara banyak di antara kita
yang mengeluh karena merasa apa yang kita minta melalui doa belum juga
terjawab, di sini kita melihat bahwa Allah mengetahui kebutuhan kita dan
memenuhinya sebelum kita sempat memintanya. Rasul Paulus menyatakan
bahwa adalah Roh Allah sendiri yang membantu manusia untuk menyampaikan
permohonan yang tak terucapkan. "Begitu juga Roh Allah datang menolong
kita kalau kita lemah. Sebab kita tidak tahu bagaimana seharusnya kita
berdoa; Roh itu sendiri menghadap Allah untuk memohonkan bagi kita
dengan kerinduan yang sangat dalam sehingga tidak dapat diucapkan. Maka
Allah, yang mengetahui isi hati manusia, mengerti kemauan Roh itu;
sebab Roh itu memohon kepada Allah untuk umat Allah, dan sesuai dengan
kemauan Allah" (Rm. 8:26-27, BIMK; huruf miring ditambahkan).
Satu daging. Mengapa
harus tulang rusuk? Banyak komentar yang pernah kita dengar perihal
"alasan-alasan" mengapa Allah memilih sebilah tulang rusuk dari tubuh
Adam untuk menjadikan Hawa. Terlepas dari kenyataan bahwa Alkitab
sendiri tidak menyebutkan apa-apa mengenai hal ini, kita bisa mengatakan
bahwa semua komentar itu adalah gagasan-gagasan yang cukup kreatif.
Namun yang pasti salah satu tulang rusuk Adam telah menjadi bagian dari
tubuh Hawa.
"Allah tidak membutuhkan tulang rusuk
Adam untuk menciptakan Hawa; Dia bisa saja menciptakan Hawa sebagaimana
Dia menciptakan Adam atau bahkan berfirman sehingga Hawa ada. Tetapi
Allah mempunyai alasan untuk membentuk Hawa dari salah satu tulang rusuk
Adam. Jika keduanya telah diciptakan sama sekali terpisah, hal itu
dapat menunjukkan bahwa secara alamiah mereka adalah individu yang
benar-benar berdiri sendiri. Tetapi berbagi daging dalam diri kedua
orang itu menunjukkan bahwa keduanya ditakdirkan untuk bersatu dan
dimaksudkan untuk menjadi 'satu daging'" [alinea kedua: kalimat
terakhir; alinea ketiga].
Sebenarnya seluruh bagian
tubuh Adam berasal dari debu tanah yang tidak bernyawa (Kej. 2:7),
termasuk tulang-tulang rusuknya. Namun Allah telah mengambil bagian
tubuh Adam yang sudah bernyawa, baru kemudian menambahkan debu tanah
yang tidak bernyawa untuk membentuk tubuh Hawa dengan sempurna (ay. 22).
Tampaknya Adam telah mendapatkan penjelasan tentang proses penciptaan
Hawa, termasuk bahwa dalam tubuh perempuan itu terdapat bagian dari
dirinya sendiri. Tidak heran bahwa demi melihat kehadiran Hawa reaksi
spontanitas Adam penuh dengan sukacita. Katanya berseru, "Inilah dia,
tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai
perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki" (ay. 23).
Orang
boleh saja mempersalahkan Adam ketika turut memakan buah larangan itu,
dan berspekulasi bahwa sekiranya dia menolaknya Tuhan pasti akan
menciptakan "Hawa" yang lain sebagai pengganti. Tetapi, pada hemat saya,
pendapat seperti itu terlalu naif. Adam sedang dalam kerinduan untuk
memperoleh seorang pendamping yang sepadan dengan dirinya ketika Allah
mengantar Hawa kepadanya, dan sejak saat itu Adam telah menikmati
kebersamaan yang penuh kemesraan beberapa waktu lamanya, dan mungkin
saja selama itu telah terjalin rasa saling percaya dan cinta yang
mendalam. Tidak segampang itu bagi seorang pria, yang semula hidup
sendiran, untuk menolak tawaran seorang wanita seperti Hawa yang telah
memberinya kasih sayang dan kemesraan.
"Dia sudah diciptakan dari Adam (ay. 22) dan dibawa kepada Adam (ay. 22). Proses
oleh mana Allah menciptakan Hawa menunjukkan dengan jelas bahwa Allah
dapat menyediakan pendamping yang Adam perlukan. Hal ini menjadi penting
di kemudian hari ketika Adam menghadapi godaan apakah akan bergabung
dengan Hawa memakan buah itu atau mempercayai Allah untuk mengatasi
keadaan" [alinea keempat: kalimat kedua hingga keempat].
Apa yang kita pelajari tentang penciptaan seorang pendamping bagi Adam?
1.
Meski Adam tidak mengungkapkan keinginan hatinya perihal kebutuhannya
akan seorang pendamping, Allah mengetahuinya. Melalui Roh-Nya Allah
menyelidik hati manusia dan mengetahui keinginan kita. Allah akan
memenuhi keinginan kita yang sesuai dengan kehendak-Nya.
2.
Fakta bahwa Hawa tercipta dari bagian tubuh Adam mengandung "sebuah
pesan" bahwa bilamana seorang pria telah dipersatukan dengan seorang
wanita sebagai pasangan suami-istri, mereka bukan lagi dua orang yang
terpisah melainkan dua orang dalam "satu daging" (dua pribadi yang
berbeda tapi tidak terpisah).
3. Penciptaan Hawa adalah
manifestasi dari penilaian dan kesimpulan Allah bahwa "tidak baik kalau
manusia itu seorang diri saja" (Kej. 2:18). Ikatan suami-istri, dari dua
jender yang berbeda, adalah rencana Sang Pencipta sejak permulaan.
Itulah kodrat manusia.
Selasa, 26 Februari
SURGA KECIL DI DUNIA (Pernikahan Ideal)
Meninggalkan ayah-ibu. Ketika
Allah menciptakan Hawa, seorang perempuan, berbeda dari Adam yang
adalah seorang laki-laki, maksud Tuhan ialah agar keduanya menjadi satu
pasangan yang sepadan dan saling melengkapi. Markus 10:6 menjadi
landasan ide dari ayat-ayat berikutnya: "Sebab pada awal dunia, Allah
menjadikan mereka laki-laki dan perempuan." Penciptaan manusia dengan
dua jender (jenis kelamin) yang berlainan itu dilandasi oleh satu maksud
tertentu, "sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu" (ay. 7, 8; huruf miring ditambahkan).
Kata-kata sebab itu (Grika: แผฮฝฮตฮบฮตฮฝ ฯฮฟฯฯฮฟฯ
, heneken toutou) dan sehingga (แฝฅฯฯฮต, hลste)
dalam ayat 7 dan 8 mempertegas adanya "hubungan kausatif" (hubungan
sebab-akibat) dengan ayat 6, di mana ayat 6 berfungsi sebagai kalimat
yang mengandung "fakta khusus" (Allah menciptakan manusia itu laki-laki
dan perempuan). Dalam konsep hubungan sebab dan akibat, fakta pada ayat 6
itu menjadi sebab terhadap akibat yang terjadi pada
ayat 7 dan 8. Jadi, kalau kita hendak menguraikan ketiga ayat ini dengan
mengubahnya menjadi bentuk kalimat tanya, bunyinya akan seperti ini:
Mengapa dari mulanya Allah menciptakan manusia itu laki-laki dan
perempuan? Supaya mereka nanti bersatu sebagai suami-istri, sebagai satu
daging, dengan meninggalkan ayah dan ibu mereka masing-masing!
Menggenapi maksud Allah. Ayat berikutnya merupakan kesimpulan yang bersifat otoritatif: "Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (ay. 9; huruf miring ditambahkan). Kata karena itu (ฮฟแฝฮฝ, oun)
dalam ayat ini mempertegas kewenangan Allah atas hubungan seorang
laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-istri. Dengan kata lain,
rumahtangga yang mengikat seorang laki-laki dan seorang perempuan
menjadi suami-istri adalah kehendak Allah, dan bahwa perkawinan
merupakan lembaga yang didirikan oleh Allah sendiri, bukan manusia.
Apabila Allah mempersatukan dua insan, laki-laki dan perempuan, sebagai
suami-istri dalam satu rumahtangga, maka perkawinan itu bukan sekadar
sebuah "kontrak sosial" ataupun "ikatan keagamaan" melainkan kegenapan
dari maksud dan rencana Allah sejak penciptaan.
"Kesatuan
adalah ciri lain dari suatu perkawinan yang baik. Kesatuan tidak
berarti bahwa kedua pasangan itu harus berhenti menggunakan otak mereka
yang terpisah, tetapi mereka harus bersatu dalam tujuan mereka melakukan
yang terbaik untuk satu sama lain serta demi persatuan mereka...Yesus
juga menekankan sifat kekekalan dari perkawinan. Perkawinan bukanlah
suatu hubungan biasa untuk dibentuk dan dibubarkan sesuka hati. Itu
adalah komitmen seumur hidup. Mereka yang tidak siap untuk berkomitmen
seumur hidup harus menunda langkah tersebut sampai mereka siap" [alinea
ketiga dan keempat].
Kasih sebagai prinsip. Suami
ditakdirkan untuk menjadi kepala dalam rumahtangga, termasuk atas
istrinya. Ini bukan tradisi budaya yang berlaku dalam adat-istiadat
ketimuran saja, tetapi ini adalah takdir ilahi. Namun, dominasi suami
atas istri dalam rumahtangga tentu tidak identik dengan dominasi kaum
pria atas kaum wanita di luar konteks perkawinan. Tetapi semisal dalam
satu rumahtangga kedudukan sosial atau jabatan publik sang istri lebih
tinggi daripada suaminya, kodrat bahwa suami adalah "kepala" atas istri
tetap berlaku dan wajib dijunjung tinggi, di rumah maupun di luar rumah
sejauh menyangkut hubungan suami dan istri.
Alkitab mengajarkan, "Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala
jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat
tunduk kepada Kristus, demikian jugalah istri kepada suami dalam segala
sesuatu" (Ef. 5:22-24; huruf miring ditambahkan). Kata Grika untuk kepala dalam ayat ini adalah ฮบฮตฯฮฑฮปแฝต, kephalฤ, (dilafalkan: kefรคlฤ'), sebuah kata-benda feminin yang secara harfiah berarti kepala dan secara arti kiasan merujuk kepada seorang pemimpin.
Setelah menasihati para istri untuk tunduk kepada suami, amaran berikutnya ditujukan kepada para suami. "Hai suami, kasihilah
istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah
menyerahkan diri-Nya baginya" (ay. 25; huruf miring ditambahkan). Kata
Grika untuk kasihilah dalam ayat ini adalah แผฮณฮฑฯแฝฑฯ, agapaล. Kata
ini sama seperti yang digunakan dalam Yohanes 3:16 dan Matius 22:37,
39. Menarik bahwa lazimnya dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan
pemicunya adalah cinta รฉrลs, แผฯฯฯ, (cinta asmara), namun dalam konteks ini Alkitab mengajarkan kepada suami untuk mengasihi istrinya dengan cinta agรกpฤ, แผฮณฮฌฯฮท, (cinta
suci), sebagaimana yang ditunjukkan Allah kepada manusia maupun Kristus
kepada jemaat, yakni cinta yang disertai dengan sikap pengorbanan.
"Adalah
hak istimewa suami untuk menyerahkan dirinya kepada istrinya dalam
pelayanan yang penuh kasih, sebagaimana Kristus telah menyerahkan
diri-Nya untuk jemaat. Pada gilirannya, istri harus menghormati suaminya
dan bekerjasama dalam usaha mereka untuk mencapai tujuan bersama.
Inilah solusi untuk pertentangan yang telah dibawa oleh dosa ke dalam
hubungan pernikahan. Cinta yang rela berkorban dibalas dengan
penghormatan penuh kasih dan kebahagiaan bersama. Rumahtangga kita dapat
menjadi semacam rasa pendahuluan akan surga" [alinea terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang pernikahan ideal?
1.
Penciptaan manusia dalam dua jenis berbeda, laki-laki dan perempuan,
didasarkan pada gagasan Allah agar di kemudian hari manusia akan hidup
berpasangan dalam sebuah ikatan rumahtangga sebagai suami-istri.
2.
Sudah menjadi kodrat ilahi bahwa setelah dewasa laki-laki dan perempuan
akan meninggalkan orangtua masing-masing untuk hidup bersama sebagai
"satu daging," dua pribadi dalam satu kesatuan.
3.
Hubungan suami-istri digambarkan sebagai hubungan antara Kristus dengan
jemaat, di mana dari pihak suami dituntut kasih sayang dan dari pihak
istri dituntut penghormatan. Cinta yang diungkapkan lewat pengorbanan di
pihak suami dan penghormatan di pihak istri menjadikan sebuah
rumahtangga sebagai surga kecil di atas dunia.
Rabu, 27 Februari
KEINTIMAN DALAM KEKUDUSAN (Melindungi Apa yang Berharga)
Seks sebagai karunia. Seks
telah ditakdirkan untuk menjadi bagian dari kehidupan, dan Allah
sendiri yang menempatkan itu pada manusia maupun hewan. Namun, perilaku
seksual manusia tentu berbeda dari perilaku seksual hewan. (Paling
tidak, begitulah seharusnya!) Pada hewan, seks lebih sebagai sarana
untuk berkembang biak yang dilakukan hanya berdasarkan naluri dan
pengalaman. Sedangkan bagi manusia seks tidak semata-mata untuk
menghasilkan keturunan, tetapi lebih dari itu adalah sebagai ungkapan
cinta dan rasa keintiman. Seks pada manusia bukan saja untuk prokreasi
tetapi juga rekreasi. Hanya pada hewan dikenal istilah "musim kawin"
yang biasanya marak pada awal musim semi (tergantung habitat dan jenis
hewan), sedangkan pada manusia seks bisa menjadi aktivitas sepanjang
waktu.
"Salah satu contoh terbesar dari kasih Allah bagi
umat manusia dapat ditemukan dalam seksualitas manusia. Ini benar-benar
suatu karunia yang mengagumkan dari Allah. Namun, seperti semua karunia
yang telah diberikan kepada kita, itu tidak datang tanpa syarat.
Artinya, itu bukan sesuatu yang kita bisa lakukan sesuka hati. Allah
telah menetapkan aturan. Sesungguhnya, Dia sangat jelas: aktivitas
seksual harus antara seorang suami dan istri, laki-laki dan perempuan,
dan hanya dalam hubungan pernikahan. Apa pun di luar itu adalah dosa"
[alinea pertama].
Seks adalah sebuah karunia Allah yang
sakral dan sangat berharga, bagi manusia itu diberikan untuk mencapai
maksud-maksud yang luhur demi kepentingan manusia itu sendiri. Seks itu
indah, seperti kata sebagian orang, dan tidak sedikit manusia yang
menjadi terobsesi dengan "keindahan seks" sehingga pikirannya selalu
dikuasai oleh angan-angan seks. Dalam keadaan demikian, seks yang indah
itu sangat mudah menjadi tindakan percabulan. Sangat ironis melihat seks
sebagai karunia yang sakral dan berharga itu diperlakukan sebagai
permainan, dalam perbuatan maupun percakapan. Seks bahkan telah menjadi
bahan dan tema lelucon yang digemari oleh banyak orang. Firman Tuhan
mengingatkan, "Tetapi percabulan dan rupa-rupa kecemaran atau
keserakahan disebut saja pun jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus" (Ef. 5:3; huruf miring ditambahkan).
Seks dan percabulan. Tampaknya
orang-orang Kristen di Korintus sempat memiliki pandangan yang keliru
mengenai seks, menganggapnya sebagai suatu jerat yang membahayakan iman
mereka sehingga lebih baik dihindari sama sekali. Lalu mereka menulis
surat kepada rasul Paulus dan menyampaikan gagasan tentang hidup
membujang bagi umat Tuhan, seperti sang rasul itu sendiri. Terhadap
surat mereka itulah Paulus menjawab, "Dan sekarang tentang hal-hal yang
kamu tuliskan kepadaku. Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak
kawin, tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki
mempunyai istrinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya
sendiri" (1Kor. 7:1, 2).
Maksud rasul Paulus di sini
ialah, hubungan seks tidak apa-apa selama itu dilakukan di antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang terikat sebagai
suami-istri, tidak peduli seberapa sering pun mereka melakukannya.
Bahkan, dia menambahkan bahwa bagi pasangan suami-istri seks merupakan
kewajiban masing-masing terhadap pasangannya. "Hendaklah suami memenuhi kewajibannya
terhadap istrinya, demikian pula istri terhadap suaminya. Istri tidak
berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami
tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya" (ay. 3, 4; huruf
miring ditambahkan). Seks adalah berkat bagi pasangan suami-istri; seks
adalah percabulan apabila menjadi promiskuitas (persetubuhan dengan
siapa saja).
Jadi, Paulus tidak pernah mengajarkan
untuk tidak menikah yang bisa berarti melawan kehendak Allah mengenai
perkawinan, melainkan dia sedang menanggapi gagasan tentang hidup
membujang yang ditanyakan oleh jemaat Korintus. "Tetapi kalau ada
seorang, yang tidak dipaksa untuk berbuat demikian, benar-benar yakin
dalam hatinya dan benar-benar menguasai kemauannya, telah mengambil
keputusan untuk tidak kawin dengan gadisnya, ia berbuat baik" (ay. 37).
Hidup membujang atau pun menikah itu haruslah atas pilihan pribadi. (Baca juga 1Tes. 4:3-5.)
Seks dan perzinahan. Dalam
khotbah-Nya di atas bukit, Yesus menyinggung soal berzinah. "Kamu telah
mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap
orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah
dengan dia di dalam hatinya" (Mat. 5:27, 28). Di sini kita melihat Yesus
melakukan amplifikasi dan memperluas makna perzinahan. Jangankan
berbuat, baru menginginkannya saja sudah berzinah. Kata asli yang
diterjemahkan dengan memandang dalam ayat ini adalah ฮฒฮปแฝณฯฯ, blepล, sebuah
kata-kerja yang dalam konteks ini berarti "mencermati dengan perasaan"
atau juga "melirik sambil bermain mata." Selanjutnya Yesus berkata,
"Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah
itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa,
daripada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka" (ay. 29).
"Sulit
membayangkan bagaimana Yesus bisa menyatakan amaran yang lebih keras
lagi terhadap percabulan seperti yang diungkapkan dalam rangkaian
ayat-ayat ini. Mencungkil mata anda? Memotong tangan anda? Jika
ini yang diperlukan supaya jadi suci, maka hal itu pantas; kalau tidak
maka anda berada dalam bahaya kehilangan hidup kekal anda" [alinea
kedua: empat kalimat terakhir].
Menulis kepada jemaat di
kota Roma, rasul Paulus mengamarkan mereka tentang orang-orang yang
sudah mengenal Allah dan mengetahui hukum-hukum-Nya tetapi kelakuan dan
kehidupan mereka seperti orang-orang yang tidak mengenal dan mengetahui
hukum Allah, baik karena melakukan penyembahan berhala maupun dalam
perilaku seksual yang menyimpang. "Karena manusia berbuat yang demikian,
maka Allah membiarkan mereka menuruti nafsu mereka yang hina.
Wanita-wanita mereka tidak lagi tertarik kepada laki-laki seperti yang
lazimnya pada manusia, melainkan tertarik kepada sesama wanita. Lelaki
pun begitu juga; mereka tidak lagi secara wajar mengadakan hubungan
dengan wanita, melainkan berahi terhadap sesama lelaki. Laki-laki
melakukan perbuatan yang memalukan terhadap sesama laki-laki, sehingga
mereka menerima pembalasan yang setimpal dengan perbuatan mereka yang
jahat itu" (Rm. 1:26-27, BIMK).
Apa yang kita pelajari tentang seks sebagai karunia Allah yang berharga?
1.
Seks adalah suatu karunia Allah yang suci dan berharga bagi manusia,
demi kepentingan manusia dan untuk melaksanakan maksud-maksud Allah
dalam kehidupan manusia. Itulah sebabnya seks pada manusia itu berbeda
dari seks pada hewan.
2. Allah ingin manusia menikmati
seks dan pada waktu yang sama memelihara nilai-nilai seksualitas yang
luhur. Dengan menjaga pemberian Tuhan yang berharga ini sesuai dengan
peruntukkannya yang benar, kita melindungi seks agar tidak merosot
menjadi percabulan.
3. Pencantuman larangan berzinah
sebagai hukum ketujuh dalam Sepuluh Perintah (Hukum Moral) adalah bukti
tentang bagaimana Allah memandang pentingnya menghormati seks. Bahkan,
Yesus mempertajam dan memperluas makna perzinahan dalam khotbah-Nya di
atas bukit.
Kamis, 28 Februari
YESUS SEBAGAI "SUAMI" BAGI JEMAAT (Pernikahan Sebagai Metafora Gereja)
Memelihara kesetiaan. Melalui
Musa, Allah mengamarkan umat pilihan-Nya, bangsa Israel, untuk menjaga
kesetiaan mereka dengan tidak menjalin hubungan dengan orang-orang kafir
bilamana mereka nanti tiba dan bermukim di Tanah Perjanjian itu.
"Janganlah engkau sampai mengadakan perjanjian dengan penduduk negeri
itu; apabila mereka berzinah dengan mengikuti allah mereka dan
mempersembahkan korban kepada allah mereka, maka mereka akan mengundang
engkau dan engkau akan ikut makan korban sembelihan mereka," pesan-Nya
(Kel. 34:15; huruf miring ditambahkan). Perhatikan, Allah menyebut
hubungan dengan ilah-ilah orang kafir itu sama dengan berzinah (Bahasa Ibrani: ืָื ָื, zanah). Jadi, berzinah itu mengandung konotasi ketidaksetiaan.
Allah
tahu bahwa "kontak spiritual" antara umat-Nya dengan ilah-ilah kafir
itu akan didahului dengan "kontak fisik" dengan orang-orang kafir yang
menyembah berhala. Itulah sebabnya Ia meningatkan, "Apabila engkau
mengambil anak-anak perempuan mereka menjadi istri anak-anakmu dan
anak-anak perempuan itu akan berzinah dengan mengikuti allah mereka, maka mereka akan membujuk juga anak-anakmu laki-laki untuk berzinah dengan mengikuti allah mereka"
(ay. 16; huruf miring ditambahkan). Rasul Paulus menasihati, "Janganlah
mau menjadi sekutu orang-orang yang tidak percaya kepada Yesus; itu
tidak cocok. Mana mungkin kebaikan berpadu dengan kejahatan! Tidak
mungkin terang bergabung dengan gelap. Tidak mungkin Kristus sepakat
dengan Iblis. Apakah persamaannya antara orang Kristen dengan orang
bukan Kristen?" (1Kor. 6:14-15, BIMK).
"Sudah sangat
dikenal di kalangan pelajar Alkitab bahwa baik dalam Perjanjian Lama
maupun dalam Perjanjian Baru perkawinan digunakan sebagai simbol
hubungan antara Allah dengan umat perjanjian-Nya. Karena itu, misalnya,
pada berbagai kejadian Alkitab menggunakan gambaran tentang seorang
perempuan yang tidak setia untuk melambangkan kemurtadan dan
pengingkaran iman yang sudah lazim pada Israel purba" [aliea pertama:
dua kalimat pertama].
Hubungan Allah dengan manusia. Alkitab
menggambarkan hubungan antara Allah dengan umat-Nya sebagai hubungan
yang bersifat multi-dimensional. Contohnya: hubungan sebagai Bapa dengan
anak yang mengedepankan dimensi kasih/sayang; hubungan sebagai Gembala dengan domba-domba yang mempertegas dimensi pemeliharaan/perlindungan; hubungan sebagai Majikan dengan hamba yang mengetengahkan dimensi pelayanan/penurutan; hubungan sebagai sesama Sahabat yang menonjolkan dimensi kedekatan/keakraban; dan hubungan sebagai Suami dengan istri yang menekankan dimensi kepatuhan/kesetiaan.
Yohanes
Pewahyu mencatat suara dari surga yang berseru, "Marilah kita
bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari
perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia"
(Why. 19:7). Hari "perkawinan Anak Domba" adalah hari ketika Yesus
Kristus akan datang kedua kali untuk menjemput umat tebusan-Nya dari
dunia ini. Setelah seribu tahun tinggal di surga, atau sesudah
millenium, segenap umat tebusan itu akan turun kembali ke dunia ini
bersama kota Yerusalem Baru. "Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem
yang baru, turun dari surga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya"
(Why. 21:2; huruf miring ditambahkan). Sejurus kemudian, salah satu
dari tujuh malaikat itu berkata kepada Yohanes, "'Marilah ke sini, aku
akan menunjukkan kepadamu pengantin perempuan, mempelai Anak Domba.' Lalu,
di dalam roh ia membawa aku ke atas sebuah gunung yang besar lagi
tinggi dan ia menunjukkan kepadaku kota yang kudus itu, Yerusalem, turun
dari surga, dari Allah" (ay. 9, 10; huruf miring ditambahkan).
Ayat-ayat
dalam kitab Wahyu di atas melukiskan hubungan antara Kristus dengan
manusia sebagai suami dengan istri, di mana Kristus yang dijuluki "Anak
Domba" itu adalah suami dan umat tebusan atau orang-orang saleh yang
diselamatkan adalah bagaikan pengantin perempuan. Perumpamaan ini
mendukung penggambaran oleh rasul Paulus, "karena suami adalah kepala
istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat" (Ef. 5:23). Bahkan,
kepada jemaat di Korintus sang rasul menulis, "Kalian adalah seperti
seorang gadis perawan yang masih suci yang sudah saya janjikan untuk
dinikahkan dengan seorang suami, yaitu Kristus" (2Kor. 11:2, BIMK).
"Pada
ayat-ayat ini, hubungan dalam perkawinan yang ideal dibandingkan dengan
hubungan Allah dengan umat-Nya. Allah mengajak umat-Nya untuk bergabung
dengan Dia dalam suatu hubungan yang intim. Ini merupakan gambaran yang
menakjubkan perihal kepedulian Allah terhadap umat-Nya dan
kerinduan-Nya untuk membawa kita ke dalam persekutuan-Nya" [alinea
terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang perkawinan sebagai kiasan dalam hubungan Kristus dengan Jemaat?
1.
Perkawinan adalah hubungan antar pribadi yang paling intim bagi
manusia. Alkitab menggambarkan hubungan Allah dengan manusia--khususnya
Kristus dengan Jemaat--sebagai suatu hubungan yang sama seperti Suami
dengan istri. Selain keintiman, hubungan antara suami dan istri juga
menyangkut kesetiaan.
2. Baik dalam PL maupun PB,
ketidaksetiaan manusia dalam memelihara hubungan dengan Tuhan disamakan
dengan perzinahan. Sebagaimana seorang suami atau istri yang selingkuh
dengan wanita atau lelaki lain disebut berzinah, demikian pula orang
yang menyangkal imannya itu sama dengan berzinah.
3.
Jemaat adalah bagaikan "pengantin perempuan" yang disiapkan untuk "hari
perkawinan Anak Domba" yang akan berlangsung pada kedatangan Yesus
Kristus kedua kali. Setiap orang Kristen adalah "pengantin perempuan"
yang harus menjaga kesucian cintanya kepada Kristus.
Jumat, 1 Maret
PENUTUP
Moralitas dan asal-usul kita. Dari
awalnya Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling
tinggi dari seluruh ciptaan dalam segala aspeknya, termasuk sebagai
makhluk yang paling bermoral. Perilaku seksual adalah bagian yang tak
terpisahkan dari moralitas manusia, dan inilah yang membedakan kita dari
hewan.
"Dalam banyak cara, suatu pemahaman yang tepat
perihal moralitas, terutama moralitas seksual, jelas terkait dengan
pemahaman yang tepat mengenai asal-usul kita. Misalnya: falsafah evolusi
tidak memberikan dasar yang obyektif untuk adanya suatu hubungan antara
aktivitas seksual dan moralitas. Hewan mempunyai banyak jenis berbeda
tentang 'sistem kawin.' Sebagian spesis bersifat poligami, banyak yang
melakukan promiskuitas...Tanpa standar moral obyektif yang diberikan
oleh Sang Pencipta, kita tidak akan memiliki dasar untuk evaluasi
perilaku seksual apakah itu baik atau buruk secara moral. Desakan
sekarang ini untuk menyetujui pasangan homoseksual menggambarkan hal
ini. Hanya dalam terang Penciptaan maka perkawinan itu dapat dipahami
dengan benar" [alinea pertama: empat kalimat pertama dan tiga kalimat
terakhir].
Moralitas adalah kajian yang luas, tidak
terbatas hanya perilaku seksual. Secara sederhana, moralitas adalah
prinsip-prinsip yang membedakan antara perilaku yang baik dengan
perilaku yang buruk, atau suatu sistem nilai dan norma kepatutan dalam
satu masyarakat. Masalahnya, umat manusia terdiri atas berbagai
masyarakat yang menganut sistem nilai dan norma yang berlainan, dan
dengan sendirinya juga berbeda dalam prinsip moral. Itu sebabnya kita
mengenal istilah "relativisme moral" yang berbeda dari "kemutlakan
moral." Sebagai orang Kristen, moralitas kita dibangun di atas kebenaran
ajaran Alkitab yang kita terima sebagai sistem nilai yang mutlak dan
berlaku umum. Sebab kita percaya, meskipun Alkitab ditulis oleh
orang-orang yang berasal dari budaya tertentu yang tidak sama dengan
kita, dalam kurun waktu yang sangat panjang, isinya tetap konsisten
karena Pengarangnya adalah Allah sendiri. Karena itu orang Kristen yang
saleh tidak akan terjebak dalam relativisme moral yang bisa merupakan
wilayah abu-abu.
Pena inspirasi menulis: "Dalam Alkitab
tabiat yang suci dan abadi dari hubungan yang ada antara Kristus dan
jemaat-Nya dilambangkan oleh hubungan perkawinan. Tuhan telah
menggabungkan umat-Nya kepada diri-Nya sendiri melalui sumpah yang
khidmat, Dia berjanji untuk menjadi Allah mereka dan mereka berjanji
pada diri sendiri untuk menjadi milik-Nya dan hanya milik-Nya saja"
(Ellen G. White, The Great Controversy, hlm. 381).
"Jauhkanlah
dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia,
terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa
terhadap dirinya sendiri. Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah
bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari
Allah, -- dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah
dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah
dengan tubuhmu! (1Kor. 6:18-20).
Posting Komentar