Charles G
Finney
Sebelum saya
membahas lebih jauh pokok tentang pertobatan yang sejati dan yang palsu, saya
ingin sampaikan bahwa pembahasan ini hanya bermanfaat bagi mereka yang mau
dengan jujur menerapkannya kepada diri mereka sendiri. Jika Anda berharap untuk
bisa mendapat sesuatu manfaat dari apa yang akan saya sampaikan, Anda harus
tetapkan untuk membuat penerapan yang tulus secara pribadi. Bersikap jujurlah
seperti jika Anda akan menghadap Tuhan. Jika Anda bersedia melakukannya, saya
harap Anda akan bisa dapati seperti apa sesungguhnya hubungan Anda dengan
Tuhan.
Saya berencana
untuk menunjukkan perbedaan antara pertobatan yang sejati dan yang palsu
mengikuti urutan pembahasan seperti ini:
I. Menunjukkan
bahwa keadaan alami manusia adalah keadaan yang murni egois
II. Menunjukkan
bahwa karakter orang Kristen itu berisi kebajikan. Artinya, [seorang Kristen
itu] memilih untuk membahagiakan orang lain.
III. Menunjukkan
bahwa kelahiran kembali di dalam Kristus Yesus merupakan suatu perubahan dari
keegoisan menuju kebajikan.
IV. Menunjukkan
beberapa bidang di mana orang-orang Kudus dan orang-orang berdosa, atau orang
yang bertobat secara sejati dengan yang palsu, memiliki kesamaan dan juga
perbedaan dalam hal-hal tertentu.
V. Menjawab
beberapa persoalan
VI. Menyimpulkan
dengan menyajikan beberapa penekanan.
I. Keadaan
alami seorang manusia, atau cara hidup manusia sebelum betobat adalah keegoisan
yang murni dan tidak ada campuran [kebaikan apapun] di dalamnya.
Keegoisan itu
berarti menempatkan kebahagiaan pribadi Anda sebagai yang paling utama, dan
juga mengejar keuntungan pribadi Anda. Orang yang egois menempatkan kebahagiaan
pribadinya di atas segala yang lain, misalnya diatas kemuliaan Allah dan
kebaikan seisi alam. Sangatlah jelas bahwa semua orang berada dalam keadaan ini
sebelum bertobat. Hampir semua orang tahu bahwa orang-orang berurusan antara
satu dengan yang lain berdasarkan prinsip keegoisan. Kalau ada orang yang
menafikan hal ini, lalu coba berurusan dengan orang lain dengan cara yang tidak
egois, maka dia akan dianggap bodoh.
II. Karakter
seorang Kristen itu berisi kebajikan
Watak yang berisi
kebajikan itu berarti suka membahagiakan orang lain, atau, lebih memilih untuk
membahagiakan orang lain. Ini adalah pola pikir Allah. Kita diberitahu bahwa
Allah itu kasih; artinya, Dia itu penuh kebajikan. Kebajikan memenuhi segenap
kepribadian-Nya. Semua kualitas kepribadian-Nya yang lain hanya merupakan
ungkapan berbeda dari kebajikan-Nya.
Setiap orang yang
bertobat memiliki kecenderungan untuk menyerupai kepribadian Allah. Saya tidak
bermaksud mengatakan bahwa tak seorang pun yang bisa disebut bertobat jika dia
tidak benar-benar memiliki kebajikan seperti Allah secara murni dan sempurna -
melainkan bahwa kecenderungan pilihannya adalah pilihan berdasarkan
kebajikan. Dia dengan tulus mengupayakan kebahagiaan orang lain, bukan karena
hal itu akan membuatnya berbahagia nantinya.
Allah memiliki
kebajikan yang murni dan tidak egois. Dia tidak membahagiakan orang-orang demi
kesenangan pribadi-Nya, melainkan karena Dia memang mencintai kebahagiaan orang
lain itu. Dia bukannya tidak berbahagia di dalam memberkati mereka, tapi
kebahagiaan pribadi-Nya bukanlah tujuan yang Dia kejar. Orang yang tidak egois
menemukan kebahagiaan saat mengerjakan perbuatan baik. Jika dia tidak gemar
berbuat baik, tentunya perbuatan baik itu tidak menjadi hal yang dia utamakan.
Kebajikan adalah
kekudusan. Itulah hal yang dituntut oleh hukum Allah, "Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
akal budimu" dan, "Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu,
ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." ,"
(Mat. 22.37, 39) Sama seperti orang yang sudah bertobat itu menaati hukum
Allah, dia juga penuh kebajikan seperti Allah.
III. Pertobatan
sejati adalah perubahan dari keegoisan puncak menuju kasih kepada kebahagiaan
orang lain
Pertobatan yang
sejati adalah perubahan atas tujuan yang Anda kejar, dan bukan sekadar
perubahan dalam cara Anda mengejar cita-cita Anda. Tidak benar jika
dikatakan bahwa orang yang bertobat dengan yang tidak bertobat itu memiliki
cita-cita yang sama, dan perbedaannya hanya terletak pada cara mengejarnya. Ini
sama saja dengan mengatakan bahwa malaikat Gabriel dan Iblis sama-sama berjuang
mengejar kebahagiaan pribadi mereka, hanya saja cara mereka mengejarnya
berbeda. Gabriel mentaati Allah bukan dalam rangka mengejar kebahagiaan
pribadinya.
Seseorang bisa
saja mengubah cara dia bertindak, namun tetap mengejar kebahagiaan pribadinya.
Dia bisa saja orang yang tidak percaya kepada Yesus, atau pada kekekalan, akan
tetapi dia bisa melihat bahwa berbuat baik itu bisa menguntungkannya di dunia
ini dan memberi dia banyak keuntungan pribadi (yang bersifat sementara).
Anggaplah orang
ini akhirnya bisa melihat realitas dari kekekalan dan memeluk agama dalam
rangka mendapati kebahagiaan di dalam kekekalan itu. Nah, setiap orang tahu
bahwa tidak ada hal yang berharga yang bisa didapati di sini. Bukan pelayanannya
kepada Tuhan yang memberkati Tuhan, melainkan alasan mengapa dia
melayani Allah itulah yang terpenting.
Petobat sejati
menjadikan kemuliaan Allah dan kemajuan Kerajaan-Nya sebagai cita-citanya. Dia
memilih hal tersebut sebagai tujuan hidupnya, karena dia melihat hal ini
sebagai kebajikan yang lebih utama dibandingkan kebahagiaan pribadinya. Bukan
karena dia tidak peduli dengan kebahagiaan pribadinya, melainkan karena dia
lebih mengutamakan kemuliaan Allah, karena kemuliaan Allah adalah kebajikan
yang lebih utama. Dia mengejar kebahagiaan orang-orang lain sesuai dengan makna
penting yang bisa dia lihat di sana (sejauh dia mampu menilai hal tersebut),
dan dia memilih kebajikan tertinggi itu sebagai cita-cita utamanya.
IV. Saya akan
tunjukkan beberapa bidang di mana orang kudus sejati dan orang yang disesatkan
memiliki kesamaan - dan bidang-bidang di mana mereka berbeda
1. Mereka bisa
sepakat dalam hal kehidupan yang dikendalikan oleh moralitas yang tinggi.
Perbedaannya terletak pada motivasi mereka. Orang kudus sejati menjalani
kehidupan yang bermoral karena mereka mengasihi kekuusan - orang yang
disesatkan memiliki motivasi yang egois. Dia akan memanfaatkan moralitas
sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, demi kebahagiaan pribadi mereka.
2. Mereka bisa
saja sama-sama giat berdoa, sejauh yang bisa dilihat secara langsung.
Perbedaannya terletak pada motivasi mereka. Orang kudus sejati memang mengasihi
doa - orang yang disesatkan berdoa karena mereka berharap untuk bisa memperoleh
keuntungan dengan doa mereka. Orang kudus sejati memang mengharapkan suatu
hasil dari doa mereka, akan tetapi hal ini bukanlah motivasi utama mereka.
Petobat palsu berdoa murni dengan motivasi yang egois.
3. Mereka bisa
terlihat sama-sama bersemangat dalam hal keagamaan. Orang bisa saja
memiliki semangat yang tinggi mengikuti pengetahuan mereka, dan dia memang
secara tulus berhasrat untuk melayani Tuhan. Petobat palsu bisa juga
menunjukkan semangat yang tinggi, namun dengan tujuan menjamin keselamatan
pribadinya, dan juga karena dia takut masuk neraka kalau dia tidak bekerja buat
Tuhan. Mungkin dia juga melayani Allah demi meredam desakan hati nuraninya,
bukan karena dia mengasihi Tuhan.
4. Mereka bisa
terlihat sama-sama mengasihi hukum Allah. Orang kudus sejati
mengasihi hukum Allah karena kesempurnaan, kekudusan, keadilan dan kebaikan
dari hukum tersebut; orang yang egois mengira bahwa jika menjalankan hukum
tersebut dia bisa menikmati kebahagiaan pribadi.
5. Mereka bisa
terlihat sama-sama mendukung sanksi-sanksi yang terkandung dalam hukum Allah.
Orang kudus sejati mengaitkan hukum Allah dengan diri pribadi mereka dalam
pengertian bahwa sangatlah adil jika Allah memasukkan mereka ke dalam neraka.
Orang yang disesatkan bisa saja menghormati hukum tersebut, karena dia tahu
bahwa aturan yang ditegakkan di sana memang benar, akan tetapi dia merasa bahwa
dirinya tidak berada dalam cakupan hukum tersebut.
6. Mereka bisa
saja menolak beberapa hal yang sama. Menyangkal diri bukan hal yang
dilakukan oleh kalangan orang kudus saja. Coba lihat pengorbanan dan
penyangkalan diri yang dilakukan oleh kaum muslim, yang menjalankan ibadah haji
ke Mekah. Lihatlah disiplin dan penyangkalan diri yang dilakukan oleh
orang-orang yang tersesat di dalam berbagai macam aliran kepercayaan timur itu.
Orang kudus sejati menyangkal dirinya untuk bisa lebih banyak berbuat baik
kepada orang lain. Pengorbanan dirinya tidak dilakukan demi meninggikan diri
ataupun kepentingannya. Orang yang tersesat bisa saja melakukan hal yang
sebanding dengan hal tersebut, akan tetapi murni dari niat yang egois.
7. Mereka bisa
saja sama-sama memiliki kerelaan untuk mengorbankan nyawa. Bacalah
kisah kehidupan para martir dan Anda bisa lihat betapa mereka memiliki kerelaan
untuk berkorban bahkan demi ide yang salah mengenai imbalan yang akan diterima
dengan pengorbanan mereka. Banyak orang yang berani menerjang maut karena
keyakinan bahwa cara yang sedang mereka jalani adalah jalan yang paling benar
yang menuju kekekalan.
8. Keduanya
bisa saja memiliki kerelaan untuk berkorban sangat besar untuk menjalankan
kebenaran. Petobat yang sejati melakukan hal itu karena dia
mengasihi kebenaran, sedangkan petobat yang palsu melakukannya karena dia tahu
bahwa dia tidak bisa diselamatkan jika tidak menjalankan kebenaran. Dia bisa
saja bersikap jujur dalam transaksi bisnisnya, namun tanpa motivasi yang lebih
mulia, maka tindakannya itu tidak akan dihargai oleh Allah.
9. Mereka bisa
saja menghasratkan hal yang sama di dalam beberapa bidang
Mereka bisa
sama-sama berhasrat untuk menjadi orang yang berguna bagi masyarakat.
Petobat yang sejati berhasrat menjadi orang yang berguna karena memang sangat
menghargai nilai orang yang berguna bagi masyarakat, sedangkan petobat yang
palsu menghasratkan hal itu karena dia memandang bahwa itu adalah jalan untuk
menjadi berkenan kepada Allah.
Mereka bisa
sama-sama mengharapkan orang lain bertobat. Bagi orang kudus sejati,
karena hal itu akan memuliakan Allah, sedangkan bagi orang yang tersesat, hal
itu dalam rangka mendapatkan perkenan dari Allah. Dia akan dimotivasi oleh
niatan tersebut, misalnya di saat dia sedang memberikan uang. Setiap orang tahu
bahwa seseorang bisa memiliki kerelaan untuk menyumbang ke sebuah organisasi,
ataupun Perhimpunan Misionaris, berlandaskan motivasi yang egois untuk
mendapatkan kebahagiaan dari pujian dari manusia, atau mengejar perkenan dari
Allah. Dengan demikian, dia juga bisa saja mengharapkan pertobatan dari
orang-orang, dan berusaha keras untuk mewujudkannya, namun dengan berlandaskan
motivasi yang egois.
Mereka bisa
saja sama-sama berhasrat untuk memuliakan Allah. Orang kudus yang
sejati menghasratkan itu karena dia ingin melihat Allah dimuliakan, sedangkan
orang yang tersesat melakukannya karena dia memandang hal itu sebagai
satu-satunya jalan untuk diselamatkan. Petobat yang sejati mengarahkan hatinya
mengejar kemuliaan bagi Allah. Sedangkan pihak yang tersesat menghasratkan hal
itu demi keuntungan pribadinya.
Mereka bisa
saja sama-sama berhasrat untuk bertobat. Petobat yang sejati
membenci dosa karena dosa itu menyakitkan dan mempermalukan Allah, oleh karenanya,
dia ingin bertobat dari dosanya. Petobat yang palsu juga ingin bertobat karena
dia menganggap bahwa kalau tidak bertobat, maka dia akan dihukum.
Mereka bisa
sama-sama ingin mentaati Allah. Orang kudus yang sejati taat supaya
dia bisa meningkatkan kekudusannya. Petobat yang palsu mentaati Allah karena
dia mengharapkan imbalan dari ketaatannya.
10. Mereka bisa
mengasihi hal yang sama
Mereka bisa
saja sama-sama mengasihi Alkitab. Bagi petobat sejati hal ini
karena Alkitab itu adalah kebenaran dari Allah. Dia bergemar di dalam kasihnya
pada Alkitab. Orang yang tersesat mengasihi Alkitab karena mengira bahwa isi
Alkitab mendukungnya, dan memandang isi Alkitab sebagai suatu rencana yang akan
menggenapi harapannya.
Mereka bisa
sama-sama mengasihi Allah - yang satu karena melihat bahwa karakter
Allah itu begitu indah dan menyenangkan, dan dia mengasihi Allah demi
menyenangkan hati Allah. Yang satunya lagi, karena dia mengira bahwa Allah
adalah sahabat khusus yang akan membuatnya bahagia selamanya, lalu dia mengaitkan
pemahaman tentang keberadaan Allah itu dengan kepentingan egoisnya.
Mereka bisa
sama-sama mengasihi Kristus. Petobat sejati mengasihi karakter
Kristus. Orang yang tersesat mengira bahwa Kristus akan menyelamatkannya dari
neraka, dan memberi dia hidup yang kekal...jadi, dia merasa tidak punya alasan
untuk tidak mengasihi Kristus.
Mereka bisa
sama-sama mengasihi orang Kristen. Petobat yang sejati melakukannya
karena dia melihat gambaran Kristus di dalam diri orang-orang Kristus, dan bisa
menikmati kebersamaan rohani dengan orang-orang Kristen tersebut. Orang yang
tersesat mengasihi orang-orang Kristen karena kesamaan denominasi, atau mungkin
juga mereka berada di pihak yang sama. Dia juga gemar membicarakan tentang
minatnya pada kekristenan dan harapannya untuk bisa masuk ke surga.
Mereka bisa
sama-sama gemar menghadiri ibadah-ibadah keagamaan. Bagi orang
kudus, hal ini karena hatinya memang gemar akan penyembahan, doa, memanjatkan
pujian dan berbagi Firman Allah - sedangkan bagi orang yang tersesat, hal ini
karena acara-acara kebaktian itu merupakan tempat yang bagus untuk menaikkan
harapannya.
Keduanya bisa
sama-sama menikmati saat-saat berdoa secara pribadi. Bagi orang
kudus sejati, hal ini karena dia dekat dengan Allah dan bergemar dalam
persekutuan dengan-Nya. Bagi orang yang tersesat, hal ini karena dia memperoleh
kepuasan karena merasa dirinya adalah orang benar, merasa bahwa sudah merupakan
tugasnya untuk berdoa secara pribadi.
Mereka bisa
sama-sama mengasihi doktrin kasih karunia - bagi orang kudus sejati,
hal ini karena hal tersebut sangat memuliakan Allah, sedangkan bagi yang
tersesat hal ini karena mengira bahwa ajaran tersebut menjamin keselamatan
pribadi mereka.
11. Mereka bisa
sama-sama membenci sesuatu hal
Mereka bisa
sama-sama membenci kebejatan seksual serta menentangnya dengan sangat keras
- orang kudus sejati membencinya karena hal itu bersifat merusak dan
bertentangan dengan Allah, sedangkan bagi yang tersesat hal itu bisa saja
karena bertentangan dengan pandangan pribadinya.
Mereka bisa
sama-sama membenci dosa - bagi petobat sejati, hal itu karena dosa
bertentangan dengan Allah, sedangkan bagi orang yang tersesat, karena dosa
telah menyakitinya. Seringkali orang membenci dosa-dosa mereka sendiri, akan
tetapi mereka tidak meninggalkan dosa-dosa itu.
Mereka bisa
sama-sama menentang orang berdosa. Penentangan yang dilakukan oleh
orang kudus sejati dilandasi oleh kasih. Mereka melihat bahwa karakter dan
perilaku si orang berdosa itu akan merusak Kerajaan Allah. Bagi orang yang
tersesat, mereka menentang orang berdosa karena agama yang berbeda atau karena
berada di pihak yang berbeda.
Di dalam semua
bidang tersebut, motif masing-masing pihak saling bertentangan. Perbedaannya
terlihat dari pilihan tujuan atau gol yang mereka ambil. Yang satu memilih
mengutamakan kepentingannya, yang satunya lagi memilih kepentingan Allah
sebagai tujuan utamanya.
Pertobatan yang Sejati dan yang Palsu - 2
Charles G
Finney
(Disambung dari Pertobatan yang
sejati dan yang palsu – 1)
Beberapa
pertanyaan tentang perbedaan di antara orang Kristen yang sejati dan palsu
1. "Jika
kedua kelompok itu sangat mirip dalam banyak hal, lalu bagaimana cara agar kita
bisa mengenali karakter kita sendiri, atau mengetahui di dalam kelompok mana
kita berada?"
Kita sama-sama
tahu bahwa hati ini sangat penuh dengan tipu daya, dan memang sangat licik
(Yer. 17:9), jadi bagaimana kita bisa tahu bahwa kita memang mengasihi Allah
dan juga kekudusan, atau kita ini sekadar mencari imbalan dari Allah, mengejar
tempat di surga demi kepentingan pribadi?
Jika kita
benar-benar memiliki kebajikan, hal itu akan tampak dari tindakan kita
sehari-hari.
Jika di dalam cara
kita berurusan dengan orang lain itu kita dilandasi oleh watak yang egois, maka
keegoisan itu juga akan melandasi cara kita berurusan dengan Allah. "Jikalau
seorang berkata: 'Aku mengasihi Allah,' dan ia membenci saudaranya, maka ia
adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya,
tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya." (1 Yoh 4:20).
Menjadi seorang
Kristen bukan sekadar urusan mengasihi Allah, melainkan juga hal mengasihi
sesama manusia. Dan jika tindakan sehari-hari kita dilandasi oleh keegoisan,
maka kita ini bukan orang yang sudah bertobat - sebab, jika kita tetap
tergolong sebagai orang Kristen, maka itu berarti kita bisa menjadi seorang
Kristen tanpa mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.
Jika Anda tidak
egois, maka tanggungjawab spiritual Anda tidak akan menjadi suatu beban bagi
Anda. Sebagian orang mengerjakan perintah Allah dengan sikap hati
yang sama seperti seorang pasien yang meminum obat dari dokter - yakni karena
dia berharap untuk bisa mendapatkan hasil yang baik buat dirinya pribadi, dan
dia tahu bahwa dia harus meminumnya atau menghadapi kematian. Pelaksanaan itu
selalu dia jalankan atas rasa terpaksa.
Jika Anda
egois, maka sukacita Anda akan sangat dipengaruhi oleh seberapa tinggi harapan
Anda untuk bisa masuk ke surga.
Saat Anda merasa
sangat yakin bahwa Anda akan masuk surga, maka Anda akan sangat menikmati
kehidupan Kristen Anda. Sukacita Anda bergantung pada harapan Anda, bukan
karena kasih Anda pada hal-hal yang sedang Anda harapkan itu. Saya tidak
menyatakan bahwa orang-orang kudus itu tidak bersukacita akan pengharapan
mereka, akan tetapi harapan itu sendiri bukan hal yang terpenting bagi mereka.
Mereka tidak banyak memikirkan tentang harapan pribadi mereka karena pikiran
mereka tersita akan hal-hal yang jauh lebih bernilai.
Jika Anda
egois, maka sukacita Anda lebih banyak dipengaruhi oleh penantian akan harapan
pribadi Anda. Orang-orang kudus yang sejati bersukacita di dalam damai
sejahtera yang datang dari Allah dan surga sudah terbentuk di dalam jiwa
mereka. Ia tidak menunggu sampai mati nanti baru akan menikmati sukacita hidup
kekal. Sukacitanya begerak sejajar dengan kekudusannya, bukan dengan harapan
pribadinya.
Orang yang
terperdaya atau tersesat hanya mengejar hasil dari ketaatan, sedangkan orang
kudus memiliki jiwa yang taat.
Ini adalah
perbedaan yang penting, dan saya kuatir hanya sedikit orang yang bisa memiliki
jiwa yang taat itu. Orang kudus yang sejati memang benar-benar memiliki
kecenderungan untuk taat, dan ketaatannya itu bersumber dari dalam hatinya -
oleh karenanya, ketaatan itu menjadi hal yang mudah baginya. Petobat palsu
bertekad untuk menjadi kudus karena tahu bahwa hanya itu jalan untuk mengejar
kebahagiaan. Orang kudus yang sejati memilih kekudusan karena kasihnya pada
kekudusan, dan dia memang kudus.
Petobat yang
sejati dan yang palsu juga memiliki perbedaan dalam iman mereka.
Orang kudus sejati
memiliki keyakinan akan kepribadian dan karakter Allah, dan keyakinan ini
membawa mereka pada ketaatan yang sepenuh hati kepada Allah. Keyakinan yang
sejati kepada janji-janji khusus Tuhan bergantung pada keyakinan akan
kepribadian Allah. Hanya ada dua dasar bagi segala jenis pemerintahan, baik
yang ilahi maupun yang manusiawi, yang ditaati karena ditakuti atau karena
dipercaya. Segala jenis ketaatan bersumber dari salah satu dari kedua prinsip
itu.
Di satu sisi,
orang menjadi taat karena berharap mendapat imbalan atau takut akan hukuman.
Sedangkan di sisi lain, ketaatan itu datang dari keyakinan akan karakter dari
pemerintahan, yang dijalankan dengan kasih. Seorang anak mentaati orang tuanya
karena dia mengasihi dan mempercayai mereka. Yang lain mungkin menunjukkan
ketaatan di permukaan saja karena dilandasi oleh rasa takut dan harapan akan
imbalan. Petobat yang sejati memiliki iman, atau keyakinan kepada Allah, yang
mendorong dia untuk taat kepada Allah atas dasar kasih. Inilah yang disebut
ketaatan iman.
Orang yang
tersesat hanya memiliki iman yang separuh-separuh, begitu pula dengan
ketaatannya. Iblis juga memiliki iman yang separuh-separuh. Dia percaya dan
gemetar ketakutan. Seseorang mungkin meyakini bahwa Kristus datang untuk
menyelamatkan orang berdosa, dan berdasarkan pengetahuan itu maka dia mentaati
Kristus untuk diselamatkan. Akan tetapi dia tidak sepenuhnya tunduk pada
kedaulatan Kristus, atau memberi Kristus kendali atas kehidupannya.
Ketaatannya
dilandasi oleh syarat bahwa dia akan diselamatkan. Dia tidak pernah dengan
sepenuh hati - tanpa menyimpan sesuatu hal lain di hatinya - meyakini segenap
kepribadian Allah sehingga membuat dia bisa berkata, "Kehendak-Mu
jadilah." Keyakinan agamanya berbentuk keyakinan akan seperangkat aturan
atau hukum. Jenis yang lainnya lagi, memiliki Injil iman; kepercayaannya
berlandasakan iman. Yang satu egois, yang satunya lagi dilandasi kebajikan. Di
sinilah letak perbedaan sejati dari kedua kelompok tersebut. Kehidupan
keagamaan yang satu hanya tampak di permukaan dan bersifat munafik. Yang
satunya lagi bersumber dari dalam hati - kudus dan berkenan kepada Allah.
Jika Anda
egois, maka Anda hanya bersukacita atas pertobatan seseorang di mana Anda
memiliki peranan di dalamnya.
Anda hanya sedikit
merasa puas jika pertobatan itu terjadi melalui peranan orang lain. Orang yang egois
bersukacita saat dia yang beraktifitas dan berhasil mempertobatkan orang
berdosa, karena dia berpikir bahwa dengan itu dia akan menerima imbalan. Akan
tetapi dia akan menjadi iri saat melihat orang lain membimbing seorang berdosa
kepada Kristus. Orang kudus yang sejati bersukacita melihat orang lain bisa
menunjukkan bahwa dia berguna, dan bersukacita melihat seorang berdosa
dipertobatkan melalui peranan orang lain, seolah-olah dia juga ikut ambil
bagian dari peristiwa itu
2.
"Bukankah saya juga perlu memperhatikan kebahagiaan pribadi saya?"
Tidak salah jika
Anda peduli dengan kebahagiaan pribadi Anda sesuai dengan nilai relatifnya.
Takarlah kebahagiaan pribadi Anda itu terhadap kemuliaan Allah dan juga
kebaikan bagi alam semesta, kemudian baru Anda putuskan - berilah nilai yang
sesuai bagi kebahagiaan pribadi Anda itu. Itulah hal yang telah dilakukan oleh
Allah. Dan makna inilah yang Dia maksudkan ketika Dia memberi Anda perintah
untuk mengasihi sesama manusia seperti diri Anda sendiri.
Menarik sekali,
semakin Anda abaikan kebahagiaan pribadi Anda, maka Anda akan menjadi semakin
bahagia. Kebahagiaan yang sejati terutama diisi oleh pemenuhan hasrat-hasrat
yang tidak egois. Jika Anda bermaksud mengerjakan sesuatu karena memang
mengasihi hal yang Anda kerjakan itu, maka kebahagiaan Anda akan bergerak
sejajar dengan pancapaian Anda dalam tindakan tersebut. Namun jika Anda berbuat
baik hanya untuk mempertahankan kebahagiaan Anda, maka Anda akan gagal. Anda
akan seperti anak kecil yang sedang mengejar bayangannya sendiri; dia tidak
akan pernah berhasil mendapatkannya, karena bayangan itu akan selalu memiliki
jarak dengannya.
3.
"Bukankah Kristus memandang bahwa sukacita itu terletak di
depan-Nya?"
Memang benar bahwa
Yesus mengabaikan rasa malu dan memikul salib, dan memandang kebahagiaan yang
terbentang di hadapan-Nya. Akan tetapi kebahagiaan macam apakah yang terbentang
di hadapan-Nya itu? Bukan keselamatan pribadi-Nya, bukan sukacita-Nya sendiri,
melainkan kebaikan luar biasa yang akan Dia kerjakan bagi keselamatan dunia.
Kebahagiaan orang lainlah yang menjadi tujuan-Nya. Dengan demikian, kebahagiaan
itu memang terbentang di hadapan-Nya...dan memang kebahagiaan itulah yang Dia
dapatkan.
4.
"Bukanlah Musa juga mencari imbalan?"
Benar, Musa
mencari imbalan. Namun apakah imbalan itu demi keuntungan pribadinya? Jauh dari
itu. Hadiah itu adalah keselamatan bag umat Israel. Pernah Allah berniat
membinasakan umat Israel membangun satu bangsa besar dari keturunan Musa. Jika
Musa egois, tentunya dia akan berkata, "Benar, Tuhan, Biarlah terjadi
seperti yang Kau kehendaki atas hamba-Mu ini." Namun apa yang dia katakan?
Mengapa hatinya begitu terpaku pada keselamatan umatnya, dan juga kemuliaan
Allah, sehingga dia bahkan tidak berpikir untuk menerima niatan Tuhan tersebut.
Sebaliknya, dia justru berkata, "Tetapi sekarang, kiranya Engkau
mengampuni dosa mereka itu dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku
dari dalam kitab yang telah Kautulis." (Kel. 32:32). Tanggapans
semacam ini tidak keluar dari orang yang egois.
5. "Bukankah
Alkitab berkata bahwa kita ini mengasihi Allah karena Allah lebih dulu
mengasihi kita?"
Memang ada
disebutkan, "Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita."
(1 Yoh 4:19). Kalimat itu memiliki dua macam makna:
1) Kasih-Nya
kepada kita memungkinkan kita untuk mengasihi Dia; atau 2) Kita ini mengasihi
Dia karena kebaikan dan pemihakan yang telah Dia tunjukkan kepada kita. Makna
yang kedua itu jelas tidak benar karena Yesus Kristus dengan jelas menyatakan
satu prinsip di dalam Khotbah di Bukit: "Dan jikalau kamu mengasihi
orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun
mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka." (Luk 6:32).
Jika kita
mengasihi Allah, bukan karena kepribadian-Nya melainkan karena pemihakan-Nya
kepada kita, berarti kita ini tidak ada bedanya dengan orang yang belum
bertobat.
6.
"Bukankah Alkitab menawarkan kebahagiaan sebagai upah dari
kebenaran?"
Alkitab
menyebutkan kebahagiaan sebagai hasil dari kebenaran, akan tetapi tidak
ada disebutkan bahwa kebahagiaan Anda itu adalah alasan untuk berbuat baik.
7.
"Mengapa Alkitab terus berbicara tentang harapan dan ketakutan pada
manusia jika kepedulian akan kebahagiaan pribadi Anda bukanlah suatu motif yang
tepat bagi tindakan-tindakan Anda?"
Manusia pada dasarnya
cenderung untuk merusak, dan memang tidaklah salah bertindak menghindarinya.
Kita memang boleh peduli akan kebahagiaan kita, namun selalu dengan penilaian
yang wajar.
Dan juga, manusia
itu mabuk dengan dosa-dosa sehingga Allah tidak bisa masuk ke dalam perhatian
mereka, agar mereka bisa mempertimbangkan tentang kepribadian-Nya yang sejati
dan alasan-alasan untuk mengasihi Dia, kecuali jika Dia bergerak mengincar
harapan dan ketakutan-ketakutan mereka. Namun begitu mereka disadarkan, maka
Dia akan menawarkan Injil kepada mereka. Saat seorang penginjil berkhotbah
tentang kengerian yang berasal dari Tuhan, sehingga pendengarnya terkejut dan
tersadar, selanjutnya dia akan menyampaikan tentang kepribadian Allah kepada
mereka, untuk menarik hati mereka agar mengasihi Dia karena kesempurnaan
karakter-Nya itu.
8.
"Bukankah Injil menawarkan pengampunan sebagai dasar bagi motivasi
ketaatan?"
Jika yang Anda
maksudkan adalah bahwa seorang berdosa disuruh untuk bertobat dengan janji
bahwa dia akan diampuni, maka perlu saya katakan bahwa Alkitab tidak pernah
menyampaikan hal yang semacam itu. Alkitab tidak pernah mendorong seorang
berdosa untuk berkata, "Aku akan betobat jika Engkau mau mengampuni."
Dan memang tidak ada tawaran pengampunan sebagai pendorong untuk pertobatan.
Beberapa
catatan penutup
1. Sebagian
orang lebih giat mempertobatkan orang berdosa daripada mengupayakan pengudusan
jemaat dan pemuliaan nama Allah melalui perbuatan baik umat-Nya.
Banyak orang yang
ingin melihat orang lain diselamatkan, bukan karena kehidupan dan perbuatan
orang itu menyakiti serta mempermalukan Allah, melainkan karena mereka prihatin
akan orang tersebut dan tidak ingin melihat dia masuk neraka. Orang kudus
sejati merasa sedih melihat dosa, karena dosa mempermalukan nama Allah. Dan
mereka paling prihatin saat melihat orang Kristen berbuat dosa karena itu
bahkan lebih mempermalukan Allah.
Sebagian orang
tampaknya tak begitu peduli akan keadaan Jemaat, selama mereka bisa
mempertobatkan lebih banyak orang lain, bagi mereka 'keberhasilan' penginjilan
sama dengan 'keberhasilan' Jemaat, namun mereka tidak begitu peduli apakah
Allah dipermalukan atau dipermuliakan lewat kehidupan Jemaat itu. Hal ini
menunjukkan bahwa mereka tidak didorong oleh kasih yang murni kepada Allah dan
kekudusan, melainkan pada perasaan manusiawi mereka terhadap si orang berdosa
itu.
2. Berdasarkan
semua hal yang telah saya sampaikan itu, sangatlah mudah untuk memahami mengapa
banyak orang yang mengaku Kristen namun memiliki pandangan yang begitu berbeda
tentang apa sebenarnya Injil itu
Sebagian orang
memandang Injil hanya sebagai suatu hiburan saja bagi umat manusia, di mana
Allah ternyata bukanlah Pribadi yang seketat apa yang disampaikan dalam Hukum
Taurat. Mereka mengira bahwa mereka bisa menjadi seduniawi apapun, dan Injil
akan tetap menutupi kekurangan mereka serta menyelamatkan mereka.
Yang lain lagi,
memandang Injil sebagai karunia ilahi dari Allah, dengan tujuan utama
memusnahkan dosa dan menumbuhkan kekudusan. Oleh karenanya, kekudusan yang
kurang dari yang dituntut dari dalam hukum Taurat adalah hal yang sangat mereka
tolak, nilai Injil justru terletak dari kuasa untuk menjadikan mereka kudus.
"Ujilah
dirimu sendiri, apakah kamu tetap tegak di dalam iman. Selidikilah dirimu!
Atau, apakah kamu tidak menyadari bahwa Kristus Yesus ada di dalam diri kamu -
melainkan kamu tidak tahan uji." (2 Kor 13.5 NASB)"
Apa itu pertobatan dan mengapa itu diperlukan untuk
keselamatan?
Pertanyaan: Apa itu pertobatan dan
mengapa itu diperlukan untuk keselamatan?
Jawaban: Banyak orang memahami istilah
“pertobatan” berarti “berbalik dari dosa.” Ini bukanlah definisi Alkitab
mengenai pertobatan. Dalam Alkitab, kata “bertobat” berarti “berubah pikiran.”
Alkitab juga memberitahu kita bahwa pertobatan yang sejati akan menghasilkan
perubahan tindakan (Lukas 3:8-14, Kisah Rasul 3:19). Kisah 26:20 menyatakan,
“Tetapi mula-mula aku memberitakan bahwa mereka harus bertobat dan berbalik
kepada Allah serta melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan pertobatan
itu.” Definisi pertobatan yang
sepenuhnya secara Alkitabiah adalah perubahan pikiran yang menghasilkan
perubahan tingkah laku.
Kalau demikian, apa hubungan antara pertobatan dan keselamatan? Kitab Kisah
Rasul nampaknya secara khusus memusatkan perhatian pada pertobatan dalam
hubungannya dengan keselamatan (Kisah 2:38, 3:19; 11:18; 17:30; 20:21; 26:20). Bertobat, dalam kaitannya dengan
keselamatan, adalah merubah pikiran Anda dalam hubungannya dengan Yesus Kristus.
Dalam khotbah Petrus pada hari Pentakosta (Kisah 2) dia mengakhirinya dengan
panggilan agar orang-orang bertobat (Kisah 2:38). Bertobat dari apa? Petrus
memanggil orang-orang yang menolak Yesus Kristus (Kisah 2:36) untuk mengubah
pikiran mereka mengenai Dia, untuk mengakui bahwa Dia sungguh-sungguh adalah
“Tuhan dan Kristus” (Kisah 2:36). Petrus memanggil orang-orang untuk mengubah
pikiran mereka dari menolak Kristus sebagai Mesias menjadi beriman kepadaNya
sebagai Mesias dan Juruselamat.
Pertobatan dan iman dapat dipahami sebagai “dua sisi dari koin yang sama.” Tidaklah
mungkin beriman kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat tanpa terlebih dahulu
mengubah pikiran Anda mengenai siapa Dia dan apa yang telah Dia lakukan. Apakah
ini adalah pertobatan dari penolakan secara sengaja, atau pertobatan dari
ketidakacuhan atau ketidaktertarikan – itu adalah perubahan pikiran. Pertobatan
Alkitabiah, dalam hubungannya dengan keselamatan, adalah merubah pikiran Anda
dari menolak Kristus menjadi beriman kepada Kristus.
Adalah penting untuk memahami bahwa pertobatan bukanlah hasil karya kita demi
untuk mendapatkan keselamatan. Tidak ada
seorangpun dapat bertobat dan datang kepada Allah kecuali kalau Allah menarik
orang tsb. kepadaNya (Yohanes 6:44). Kisah 5:31 dan 11:18 mengindikasikan
bahwa pertobatan adalah pemberian Allah – yang dimungkinkan semata-mata karena
anugrahNya. Tidak ada seorangpun yang dapat bertobat kecuali kalau Allah
menganugrahkan pertobatan. Segala yang bersangkutan dengan keselamatan,
termasuk pertobatan dan iman, adalah hasil dari Allah menarik kita, membuka mata
kita, dan mengubah hati kita. Panjang sabar Allah menuntun kita kepada
pertobatan (2 Petrus 3:9), demikian pula kebaikanNya (Roma 2:4).
Sekalipun pertobatan bukanlah pekerjaan yang menghasilkan keselamatan,
pertobatan yang menuntun pada keselamatan pasti menghasilkan suatu karya.
Adalah tidak mungkin untuk benar-benar dan secara keseluruhan mengubah pikiran
Anda tanpa hal itu menyebabkan perubahan dalam perilaku. Dalam Alkitab
pertobatan menghasilkan perubahan tingkah laku. Itu sebabnya Yohanes Pembaptis
berseru agar orang-orang “menghasilkan buah yang sesuai dengan pertobatan”
(Matius 3:8). Seseorang yang benar-benar telah bertobat dari penolakan akan
Kristus kepada iman akan Kristus akan nyata melalui hidup yang berubah (2
Korintus 5:17, Galatia 5:19-23, Yakobus 2:14-26). Pertobatan, didefinisikan
secara tepat, adalah perlu untuk keselamatan. Pertobatan yang Alkitabiah adalah
mengubah pikiran Anda mengenai Yesus Kristus dan berbalik kepada Allah dalam
iman untuk keselamatan (Kisah 3:19). Berbalik dari dosa bukanlah definisi dari
pertobatan, melainkan adalah salah satu hasil dari pertobatan yang sejati, yang
berlandaskan iman yang menuntun kepada Tuhan Yesus Kristus.
Oleh : Bpk C Simatupang
Posting Komentar